Search
Close this search box.

Falsafah Sejarah Prof. S M Naquib al-Attas

 

 

 

 

Sumber:  Home Republika Online

Koran » Islamia

Kamis, 20 Oktober 2011 pukul 14:07:00

Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud

Direktur Center for Advanced
Studies on Science, Islam,
and Civilizasions (CASIS))
Universitas Teknologi Malaysia,
Kuala Lumpur

Menurut saya, di dunia Islam kontemporer, ada dua orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli falsafat sejarah. Pertama, Almarhum Malek Bennabi dari Aljazair (m. 1973) dan Prof Dr Syed Muhamad Naquib al-Attas. Banyak yang menulis sejarah dan menggunakan fakta-fakta sejarah, tetapi hanya dua orang ini yang telah mencoba mengutarakan gagasan mereka mengenai sejarah yang bermakna dan berdayacipta. Tetapi, Syed Muhammad Naquib al-Attas (SMN al-Attas), dalam pandangan saya, memiliki pandangan yang lebih komprehensif dan luas dari segi falsafah dan kaidahnya yang juga membantu menyelesaikan beberapa masalah penting mengenai sejarah Islam di alam Melayu.

Buku terbaru SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction (HFF), (Universitas Teknologi Malaysia, 2011), yang diluncurkan pada 9 September 2011 lalu, meneguhkan kembali kepeloporan dan kependekaran beliau dalam masalah sejarah, khususnya sejarah di alam Melayu, yang dipeganginya selama lebih 40 tahun secara penuh istiqamah. Falsafah sejarah SMN al-Attas adalah cerminan dari pandangan alam (worldview) serta epistemologi Islam, yakni kerangka ilmu yang muncul darinya.

Islam menerima kemampuan pancaindra yang sejahtera, akal sehat, dan laporan yang benar (khabar shadiq) sebagai saluran ilmu pengetahuan yang sah bagi manusia. Hakikat ini jelas terekam dalam Alquran dan hadis Rasullulah SAW dan di dalam kupasan akidah Islamiah, khususnya yang disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin al-Nasafi (abad ke-12 M) yang dipakai di alam Melayu selama ratusan tahun.

Seperti semua ilmuwan dan sarjana Islam yang berakar dalam tradisi ahlu sunnah wal jamaah ini, SMN al-Attas juga menayangkan kerangka keilmuan ini yang diterapkan pada falsafah dan metodologi kesejarahannya. Kerangka dan kaidah ini bukanlah sesuatu yang harus dipetak-petakkan, malah bagi al-Attas, pendekatan keilmuan yang dipahami dan diamalkannya bersifat tauhid (mempersatukan). (SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 1995:3-4)

Para pengkaji sejarah Melayu tentu sudah tidak asing lagi dengan nama SMN al-Attas. Pada 1972, melalui bukunya Islam Dalam Sejarah dan Ke budayaan Melayu, ia sudah meng isyaratkan betapa pentingnya kedudukan sejarah dalam kehidupan manusia: “He in whose heart no History is enscrol led, cannot discern in life’s alloy the gold, but he that keeps the records of the Dead, Adds to his life new lives a hundredfold.” (Hati yang hampa tiada mengandung Sejarah Bangsa, Tiadakan dapat tahu menilai hidup yang mulia, Penyimpan Khabar Zaman yang Lalu menambah lagi, Pada umurnya umur berulang berkali ganda).

Genius dan serius
Bagi saya pribadi, sosok yang satu ini sangat luar biasa. Pertama kali mengenalnya, tahun 1984, saat saya masih kuliah S-3 di Chicago University. Pembimbing saya, Prof. Fazlur Rahman, meminta saya untuk menemani seorang sarjana dari Malaysia yang melakukan penelitian tentang kitab Hujjat al-Siddiq karangan Nur al-Din al-Raniri. Fazlur Rahman memberi tahu, bahwa al-Attas adalah “a prominent scholar.”

Selama di Chicago, saya melihat kedua ilmuwan besar itu sering berbincang. Usai al-Attas meninggalkan Chicago, Fazlur Rahman memberi tahu saya di kantornya bahwa SMN al-Attas is a genius. Mungkin dia membaca karya al-Attas tentang The Mysticism of Hamzah Fansuri yang ada di perpustakaan Regenstein waktu itu. Saya juga pernah meminjamkan kepada Fazlur Rahman buku al-Attas, Islam and Secularism dan The Concept of Education in Islam. Dalam The Concept of Education itu, saya lihat Fazlur Rahman membuat catatan-catatan dan menggaris bawahi di beberapa tempat yang menandakan dia membacanya dengan teliti.

Namun, al-Attas memiliki kelebihan yang luar biasa dalam ketajaman pemikiran dan upayanya untuk menanamkan keyakinan kaum Muslim akan kewibawaan ajaran dan sejarah Islam. Hampir seluruh usianya yang kini hampir 80 tahun dicurahkan untuk usaha ini. Buku HFF ini tampaknya merupakan puncak karyanya di bidang sejarah. Para pengkaji pemikiran dan sejarah Islam akan menemukan kekhasan dan ketajaman yang luar biasa pada buku HFF ini.

SMN al-Attas memang seorang ilmuwan yang sangat serius dan teliti dalam mengerjakan segala sesuatu. Selama dua tahun beliau menyiapkan naskah buku terbaru ini (HFF) walaupun dalam keadaan tidak sehat dan berada dalam rawatan di rumah sakit untuk waktu yang agak lama. Setiap kali saya berkunjung ke kediamannya, beliau akan senantiasa bercakap dan mengulangi tanpa jemu tentang beberapa aspek yang sedang dikajinya itu. Beberapa orang muridnya menyatakan mengalami hal yang sama.

Saya teringat, saat beliau sedang menyiapkan naskah “Komentari tentang karya Hujjatul Shadiq oleh Syekh Nurudin al-Raniri” pada awal 1980-an, al-Attas membuat kajian serius di Perpustakaan University of Chicago. Dalam beberapa pertemuan dengan saya di sana, beliau mengakui amat sukar tidur sebab memikirkan maksud penulis asal yang sedang dikomentarkan itu. Beliau mengaku seakan-akan berbicara dengan al-Raniri sendiri.

Simaklah, bagaimana kehebatan pemikiran dan analisisnya saat al-Attas menguraikan nama-nama bagi hari-hari dalam bahasa Melayu. Huruf Jawi yang bersifat Arab-Melayu, nama-nama orang Islam tempatan di Alam Melayu, bunyi bacaan bahasa Arab orang Islam setempat, dan jumlah penduduk Arab dari keturunan Rasulullah SAW, khususnya melalui Imam Ahmad Isa al-Muhajir dan Imam Muhammad Sahib Marbat yang sangat banyak terdapat di Alam Melayu. Semuanya membuktikan peranan pengislaman yang awal dan efektif oleh golongan mereka dari Hadhramaut terutama sejak kurun ke 12M. Terdapat sebahagian dari mereka yang datang melalui Campa dan India.

Dalam HFF ini, dengan cermat SMN al-Attas menunjukkan kekeliruan sejarawan yang mengatakan bahawa al-Malik al-Salih (wafat 1296 M) adalah Raja pertama Kerajaan Islam Samudra-Pasai (HFF, hal. 16). Dalam hal ini, al-Attas menggunakan laporan seorang sejarawan yang berwibawa, yaitu Sayyid Alawi bin Tahir al-Haddad yang menziarahi perkuburan al-Malik al-Salih itu dan menemui sebuah kubur al-Malik al-Kamil berdekatan di situ yang wafat lebih awal, yaitu pada tahun 1210M. (HFF, 16-17).

Untuk pertama kalinya, seorang sejarawan yakni SMN al-Attas menunjukkan, bahwa nama “Sumatra” sejatinya bukan berasal dari kata “samodra”, tetapi berasal dari kata “Semutraya” yang terkaitkan dengan kisah Merah Silau melihat semut sebesar kucing. Al-Attas menggunakan bentukbentuk ejaan nama itu dalam teks-teks lama berbahasa Arab dan bukan Arab (HFF, hal. 6-12). Ia juga menggunakan laporan dari teks Arab, yaitu Ajaib al-Hind oleh Buzurg ibn Shahriyar dari abad ke 10M yang merekamkan laporan seorang yang bernama Muhammad ibn Babishah bahwa terdapat semut-semut yang sangat besar di Utara Sumatra, terutama di Pulau Lamri. (HFF, hal.12).

Berbeda dengan banyak sejarawan, al-Attas tidak menafikan berita yang ditulis dalam hikayat tentang peng islam an Alam Melayu. Dalam hikayat terawal berbahasa Melayu, Hikayat Raja Pasai, diceritakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat mem bawa agama Islam ke Samudra selepas wafatnya Rasulullah SAW dengan membawa alat perkakas kerajaan. Mereka disuruh singgah ke Mengiri dan mengambil seorang fakir untuk di bawa bersama. Hikayat itu juga mence ri takan selepas kewafatan Baginda Ra sulullah saw, Syarif Mekkah (penguasa Makkah) mendapat berita tentang Sa mudra. Syarif itu diperintahkan oleh “Khalifah Syarif” membuat persiapan mengantar rombongan memenuhi su ruhan Nabi itu (HFF, 3-4; Hikayat Raja Pasai, Yayasan Karyawan, hal. 13-14).

Cerita dalam Hikayat itu dianalisis dengan serius oleh al-Attas. Dengan menggali berbagai sumber-sumber awal Islam dan analisis tentang ajaran Islam dalam hal dakwah Islamiah. Ditemukan laporan bah -wa ternyata sebelum keda tang an Islam, orang-orang Arab sudah menguasai perdagangan di Alam Melayu ini. (HFF, hal. 2-5). Ditemukan juga, bahwa di Kota Mengiri (Monghyr) di Timur Jauh India sejak abad ke-8-9 M sudah ditemukan puluhan ribu orang-orang Arab Muslim dari keturunan Abu Bakar dan Ali ibn Abi Talib r.a. (HFF, hal. 19-23).

Fakta dan kebenaran
Dalam karyanya yang sangat penting, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, al-Attas membicarakan tentang Islam dan Filsafat Sains. Dalam uraiannya, al-Attas mengungkapkan bahwa dalam pandangan alam (worldview) Islam, fakta, dan kebenaran itu tidak semestinya sama. Tidak semua fakta itu benar—jika fakta tersebut tidak ditafsirkan dan diperlakukan sesuai dengan pandangan alam Islam.

Dalam karya itu, al-Attas mengutarakan satu gagasan sangat penting dan berguna dalam perencanaan dan kegiatan ilmiah termasuk bidang sejarah, yakni suatu kaidah: “Terdapat batas-batas kebenaran bagi setiap ilmu pengetahuan” (“There is a limit of truth to every object of knowledge”).

Gagasan ini memang terinspirasi dari ajaran Alquran dan tradisi keilmuan Islam yang merumuskan gagasan ilmu bermanfaat dan skop ilmu kepada yang bersifat fardhu ain dan fardhu kifayah. Ini untuk mengelakkan pemubaziran umur seorang dalam mengkaji ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan bagi masyarakat seluruhnya.

Tentang fakta sejarah lampau, al-Attas menegaskan bahwa fakta harus ditafsirkan semata-mata bukan pada kehadirannya di luar akal pikiran  sebagai kewujudan yang objektif tetapi fakta harus diperhitungkan nilainya:“To test the accuracy of the explanation is not necessarily achieved by seeing whether the fact corresponds to a reality which is already known to us now. To find coherence in the explanation of facts described by history cannot be free of judgments that involve value.” ( HFF, hal. xii).

Hakikat ini telah dinyatakannya sejak 1970-an dalam buku Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, saat al-Attas mengkritik tren sebagian sejarawan yang asyik mengumpulkan fakta, terutama yang bersifat runcitan (eceran). Katanya:

“Bahwasanya ternyatalah konsep tugas seorang ahli sejarah itu bukanlah mengkaji, mencatat, dan melaporkan segala hal yang terjadi dalam meriwayatkan dan menafsirkan kehidupan dan nasib sesuatu bangsa; akan tetapi ia harus memilih apa yang hendak dikajinya, ia harus mengasingkan apa yang hendak dicatatnya dari bahan-bahan tiada terbatas itu, ia harus merumuskan apa yang hendak dilaporkannya dengan tujuan bagi menayangkan gambaran yang terdiri daripada sifat-sifat tertentu yang akan merupakan hakikat bangsa itu.” (Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, hal. 2-3)

Dalam konteks alam Melayu, datadata sejarah lampau sangat kurang. Karena itulah, al-Attas mencadangkan bahwa kebanyakan dari tafsiran dan penjelasan kita tentang peristiwa-peristiwa lampau harus bergantung banyak kepada kaidah-kaidah akliah, bukan hanya pada kaidah indrawiah (empirical) (HFF, hal. xiv). Jika tidak, sejarah keagamaan, keilmuan, dan kebudayaan tidak akan dapat ditulis. (Ibid, hal. xiv).

Meskipun berbagai karyanya memiliki kualitas yang diakui di dunia internasional, hampir semua buku al-Attas diterbitkan di institusi penerbitan di alam Melayu. Sepanjang aktivitasnya sebagai ilmuwan, al-Attas senantiasa berusaha menanamkan keyakinan akan keupayaan kaum Muslim Melayu dalam bersanding dengan peradaban-peradaban lain. Buku Historical Fact and Fiction ini sekali lagi membuktikan, bahwa ilmuwan Muslim Melayu mampu melahirkan karya besar yang sangat penting bagi pembangunan peradaban Muslim Melayu di masa depan. Wallahu a’lam bil-shawab.

Explore More